Christophe Maquestiaux, murid dari Prof. Seymour Benzer telah melakukan riset antara hubungan cinta dan reaksi tubuh melalui pendekatan ilmu eksakta. Karena terhitung sejak 2000 tahun yang lalu orang mulai menyadari keberadaan Cinta dalam kehidupan mereka, maka mereka merasa lebih ingin mengenalnya dan memahami Cinta dengan bahasa yang mereka pahami. Begitu juga para ilmuwan yang menguasai ilmu pengetahuan Biologi dan Kimia merasa bahwa Cinta memiliki hubungan dengan kedua cabang ilmu eksakta tersebut. Mereka mulai melakukan sebuah riset panjang dalam pencarian apa yang mereka sebut “Senyawa Kimiawi Cinta”.
Penelusuran dari biologi molekul dan pengembangan teknologi komputerisasi digunakan seoptimal mungkin untuk mendeteksi jejak hormon di dalam jaringan tubuh manusia. Mereka berusaha menjelaskan Cinta dengan bahasa Ilmiah.
Dari hasil penelitian biologi selama 20 tahun terakhir, para ilmuwan akhirnya dapat mengidentifikasikan banyak potensi senyawa kimia yang berhubungan dengan Cinta. “Senyawa Cinta yang telah banyak dikenal orang adalah hormon PEA atau Phenylethylamine yang merupakan rangkaian amine, molekul organik yang mengandung unsur Nitrogen dan ditemukan pada otak. PEA adalah amphetamine yang secara konstan diproduksi oleh tubuh secara alami dan dalam peningkatan konsentrasinya dapat menimbulakan rangsangan yang mirip dengan apa yang ditimbulkan oleh obat bius amphetamine.
Rasa tertarik membuat peningkatan PEA dalam tubuh berpengaruh pada perasaan “terbang ke awan” yang ditimbulkannya. Hal tersebut memberi kita tambahan energi untuk tetap terjaga dan fokus lebih lama sehingga memungkinkan kita untuk ngobrol semalaman dengan gebetan baru kita. Rasa tertarik bukan satu-satunya cara untuk dapat “fly” oleh PEA. Otak kita juga melepas stimulan(rangsangan) pada aktifitas dengan tekanan berat seperti bungee jumping atau balap motor. Disamping itu ada satu lagi kegiatan yang oleh banyak ilmuwan dipercaya dapat menrangsang produksi PEA di otak kita, makan cokelat!.
Pelepasan PEA mematikan reaksi rantai kimia di otak. Efek primer dari PEA adalah merangsang pelepasan neuro transmitter (sel saraf) dopamine (Senyawa Senang). Sebagai senyawa kimia perantara (pengirim pesan), dopamine mirip dengan adrenaline. Dopamine mempengaruhi rasa senang/enak/nyaman, maupun rasa sakit. Neurons yang memproduksi neuro transmitter dopamine terletak pada otak bagian tengah yang disebut Substantia nigra.
Pengaturan Dopamine oleh otak sangat penting bagi kesehatan mental dan fisik seseorang. Jika produksi dopamine sedikit, maka seseorang dapat menderita penyakit parkinson, sebaliknya jika produksi dopamne terlalu banyak, maka korban akan sangat berpeluang menderita schizophrenia.
Dopamine juga berhubungan erat dengan “Sistem Imbalan Otak” Sistem ini adalah jaringan saraf dibagian tengah dimana titik rasa “senang/enak/nikmat/nyaman” menerima respon dari perilaku seseorang. Contoh : ada seorang yang kehausan, otak memerintahkan tubuh untuk mencari minum, begitu ia minum, maka sistem imbalan ini bekerja dan akan menimbulkan perasaan nikmat pada diri orang tersebut. Begitu juga perasaan yang timbul setelah melakukan hubungan seks.
Saraf dopamine menjadi aktif oleh “kejadian imbalan” yang lebih baik dari yang diharapkan atau minimal sesuai harapan sehingga rasa yang ditimbulkannya adalah rasa senang dan sejenisnya. Sedangkan untuk kejadian yang tidak sesuai harapan akan membuat “sistem imbalan” merangsang dopamine membuat perasaan tidak senang, tidak nyaman, tidak enak. Dari “sistem imbalan” tersebut, dopamine memiliki karakteristik untuk membentuk “sistem pembelajaran” sehingga merangsang pelepasan dopamine oleh PEA menjadi pengalaman positif di otak yang membuat asosiasi seperti “gebetan baru” dan “rasa senang” yang meningkat. Karena rangsangan yang dihasilkan oleh hubungan itu lahir, maka kita akan berusaha mengadakan kontak yang lebih sering dengan orang yang mampu merangsang produksi PEA kita.
Yang menarik untuk dicatat, pada penelitian dewasa ini, para ilmuwan menunjukkan bahwa sistem imbalan ini bertanggung jawab atas bentuk “rasa sakit” yang dialami tubuh. Dalam porsi maksimum, bentuk “rasa sakit” yang ditawarkan dopamine potensial menjadi morphine dosis tinggi. Mungkin inilah penjelasan ilmiah tentang apa yang kita sebut positive thinking, sehingga mampu menghilangkan rasa cemas selama rangsang itu berlangsung. Selain menghasilkan sistem imbalan, dopamine juga merangsang produksi oxytocin.
Oxytocin adalah senyawa protein yang hanya terdiri dari sembilan asam amino, jauh lebih sedikit dibanding protein lengkap yang memiliki beberapa ratus asam amino. Hormon ini bersintesa dalam hypothalamus yang merupakan pusat berbagai hormon. Produksi oxytocin tidak dibatasi oleh otak melainkan sangat dipengaruhi oleh ovarium wanita dan testes pada pria. Peranan hormon berpengaruh besar pada aktifitas seksual seseorang, antara lain mengontrol dan mengaktifkan otot-otot organ seks kita. Oxytocin dengan bantuan hormon lain yaitu vasopressin mampu meningkatkan kualitas tidur kita.
Jika seseorang jatuh cinta, maka akan terjadi produksi adrenalin secara besar-besaran yang dipicu oleh hormon norepinephrine, senyawa cinta lainnya yang dapat ditemukan dalam hypothalamus dan sistem limbik. Belum banyak informasi tentang hormon ini karena penelitiannya masih berlangsung.
Diketahui bahwa peningkatan norepinephrine mempengaruhi hasrat atau mood kita. Membuat kita merasa nyaman dan aman (terlindung) ketika berduaan dengan orang yang kita suka. Norepinephrine juga bertanggung jawab atas rendahnya selera makan sehingga memungkinkan kita menghabiskan waktu seharian dengan gebetan kita tanpa memikirkan makanan. Efek ke tiga mirip oxytocin yaitu mempengaruhi organ seks.
Tapi efek yang utama ialah, norepinephrine memacu produksi adrenalin dalam darah sehingga meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut jantung, dan membuat nafas tisak teratur. Nafas tak teratur membuat pasokan oksigen pada tubuh meningkat sehingga memberi kita energi tambahan. Perasaan segar bugar seringkali dialami oleh orang yang baru saja jatuh cinta.
Sama serperti dopamine, hormon ini juga mempengaruhi pikiran dengan memprovokasi tubuh untuk menciptakan emosi-emosi negatif seperti rasas cemas dan takut. Terlalu banyak hormon ini juga mengarah ke bentuk schizophrenia.
Bagian akhir dari reaksi rantai hormon yang dipicu oleh PEA adalah vasopressin. Seperti hormon yang lain, hormon ini dilepaskan otak ketika masa aktifitas seksual dan meningkatkan agresi. Agresi ini dibuktikan dengan perlindungan pria terhadap wanitanya dengan menunjukkan sikap yang meyakinkan si pria agar wanitanya tidak melirik pria lain. Karena sikap itulah kadang-kadang vasopressin disebut juga hormon monogami.
Terkadang seseorang secara tidak sadar melakukan berbagai tindakan dan perilaku yang dipicu oleh produksi vasopressin. Contoh: Agus dan Dewi adalah sepasang kekasih. Namun Dewi adalah gadis yang menarik perhatian banyak pria sehingga membuat Agus seringkali cemburu tanpa alasan kuat. Dan hal ini akan menimbulkan konflik-konflik diantara mereka. Agus lalu melakukan segala macam bentuk usaha proteksi pada diri Dewi seperti mengantar pulang, mengecek e-mail – e-mail yang ditujukan pada Dewi, dan berubah menjadi agen intelejen hebat yang mengumpulkan berbagai macam informasi tentang kemungkinan Dewi berpaling.
Senyawa cinta lain yang tidak terkait dengan PEA adalah testosterone yang dimiliki oleh pria maupun wanita. Peningkatan testostrone yang wajar akan meningkatkan dorongan seksual dan pertumbuhan.jika kekurangan, dapat berpengaruh banyak pada seseorang, diantaranya penurunan libido dan frigiditas.
Semua senyawa tersebut tidak hanya berpengaruh pada tubuh saja, otak juga ikut terpengaruh. Gabungan senyawa tadi menghasilkan “Pemikiran Intrusif”(Intrusive Thinking) yang dapat kita lihat ketika otak kita dipenuhi bayangan-bayangan orang yang kita suka. Saat inilah bagian otak yang bertugas mengontrol tubuh yaitu Cortex dan pusat pemikiran logis diambil alih oleh sistem limbik yang mengatur emosi. Karena sistem limbik inilah sasaran utama Cinta, membuat kita sulit berpikir jernih ketika sedang dimabuk cinta.
Unsur kimia yang dihasilkan otak juga dapat menjelaskan mengapa bagi sebagian orang sulit menjalankan hubungan jangka panjang. Mereka lebih memilih perasaan alami yang didapat pada bulan-bulan pertama berhubungan yang merupakan rasa senang dari endorphins.
Beberapa ilmuwan percaya bahwa setelah beberapa periode antara 18 bulan sampai 4 tahun tubuh mengembangkan toleransi pada “kenikmatan alami” otak. Dalam periode ini hasrat romantis dapat menurun seperti apa yang dikatakan oleh Dr. Helen Fisher, Profesor Antropologi di Rutgers University dan penulis buku Anatomy of Love sebagai “attachment”.
Pada fase menjalin hubungan, otak memproduksi endorphins, senyawa kimia yang strukturnya mirip dengan morphin. Senyawa ini menghasilkan efek yang mirip dengan pereda sakit yang disebabkan oleh amphetamine. Seperti PEA, senyawa tadi memiliki efek soothing, menenangkan pikiran, meredakan sakit, dan menghilangkan kecemasan.
Sebagaimana telah dijelaskan tadi, kebanyakan hormon PEA memiliki kemiripan dengan senyawa ampethamine maupun morphine dalam hal manipulasi kinerja otak. Tapi kesamaanyya tidak sebatas itu saja. Hormon-hormon tersebut juga mampu menimbulkan perasaan ketagihan dan kecanduan sebagaimana efek yang ditimbulkan morphine dan sejenisnya.
Jika pada permulaan berhubungan, hormon PEA yang diproduksi masih dalam jumlah sedikt, maka efek yang ditimbulkannya juga tidak terlalu berpengaruh pada tubuh, perilaku, dan pemikiran korban. Tapi semakin lama mereka berhubungan, maka dosis yang dihasilkan tubuh akan terus mengalami peningkatan sehingga pengaruhnya akan semakin terasa.
Korban akan terus berusaha agar tubuh tetap memproduksi hormon PEA agar korban dapat terus merasakan kesenangan, inilah bentuk ketagihan yang disebabkan oleh Cinta. Pengaruhnya memang menyerang psikologis sehingga efeknya mulai dari berdebar-debar gugup, dan sejenisnya. Tapi bisa mempengaruhi fisik seperti menurunnya nafsu makan, gelisah sehingga kurang tidur dan lainnya.
Jika hormon-hormon tersebut berhenti diproduksi oleh tubuh, maka tubuh akan mengalami respon negatif yang biasa di sebut “nagih/sakau”. Respon ini akan mengganggu kestabilan emosi korban sehingga berdampak pada perilaku korban yang cenderung negatif.
Contoh: Andre terbiasa bertemu dengan kekasihnya dengan frekwensi yang sering dan teratur. Ketika suatu saat dia tidak dapat bertemu kekasihnya dalam jangka waktu yang cukup lama, maka Andre akan merasakan gangguan dalam kestabilan emosinya. Dia akan uring-uringan, menurunnya gairah, mudah marah, dan mulai berpikiran negatif pada pasangannya.
Karena efek-efek seperti inilah banyak orang berusaha untuk selalu mendapatkan dan memiliki orang yang ia cintai agar produksi hormon PEA tetap dapat berjalan lancar.
Objek Power
Senyawa-senyawa kimia cinta yang terdapat dalam tubuh kita itu merupakan potensi besar yang dapat merusak kestabilan antara pikiran dan perasaan. Senyawa-senyawa tersebut tidak akan aktif sebelum Cinta menekan picunya.
Dalam diri setiap orang pasti memiliki figur atau bayangan ideal dari lawan jenisnya. Korban secara sadar ataupun tidak telah menjadikan bayangan ideal tersebut sebagai standarisasi baku dalam memilih pasangannya. Jika suatu ketika ada objek yang sedikit banyak memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan objek, maka Cinta akan menggunakan alat pendistorsi frekwensi atau disingkat APF. Selanjutnya akan dijelaskan dengan contoh.
Misalnya Hana memiliki standar cowok idealnya, sebut saja tinggi, putih, pengertian, ramah, cute, dll,sebagainya suatu hari bertemu dan berkenalan dengan Arif yang memenuhi beberapa kriteria tersebut. Maka ketika Hana menatap atau ditatap Arif, Cinta mulai mengaktifkan APFnya. Sebenarnya dalam kontak mata, interaksi, dan komunikasi diantara keduanya akan menghasilkan apa yang disebut frekwensi interaksi. Frekwensi ini pada dasarnya adalah netral. Tapi karena salah satu pihak (dalam hal ini adalah Hana) ada yang memiliki kriteria ideal yang kebetulan dimiliki pula oleh objek (Arif). Maka itulah peluang Cinta mengaktifkan APF miliknya. Sinyal-sinyal berfrekwensi standar mulai terdistorsi olef APF Cinta. Karena sinyal terdistorsi itulah yang di tangkap oleh otak Hana, maka interpretasi (tanggapan) Hana akan terdistorsi pula. Tanggapan yang timbul bukanlah tanggapan netral karena sudah tidak sesuai dengan maksud semula.
Misalnya Hana 2 hari tidak masuk sekolah karena sakit perut biasa. Begitu dia masuk teman-temannya bertanya: “kenapa kemaren kamu gak masuk, Na?” Hana mungkin akan menjawab dengan netral: “gue sakit perut” misalnya. Tapi akan lain jadinya jika yang bertanya adalah Arif.: “Kemarin kemana, Na?” padahal Arif hanya sekedar bertanya, mungkin malah basa basi karena Arif tidak punya perasaan apa-apa pada Hana. Tapi Hana akan berpikir :”Oh… Arif kok perhatian yah ama gue.” Padahal!! Itu adalah tanggapan yang timbul akibat frekwensi sinyal komunikasi antara mereka sudah terdistorsi oleh APF Cinta. Kesalahan interpretasi ini lebih dikenal dalam dunia kita dengan sebutan Ge eR (Gede Rasa). Hanya sinyal-sinyal itulah yang mampu mengaktifkan otak untuk memproduksi senyawa-senyawa cinta sehingga orang yang ke ge-er an akan merasa deg-deg-serr yang enak dan nyaman.
Hal ini juga menjelaskan beberapa kasus yang melibatkan unsur object power. Contoh lainnya, dalam diri Mia ada beberapa kriteria yang sama dengan standar Toni. Suatu ketika Mia mengatakan kalau ia suka warna biru. Dan kebetulan Mia ingin sekali membeli tas warna biru. Meskipun secara tidak langsung mengatakan pada Toni, tapi sinyal-sinyal komunikasi diantara mereka sudah terdistorsi, maka tanggapan yang muncul di benak Toni adalah “Mia mengharapkan Toni membelikannya Tas berwarna biru” meskipun Mia sendiri tidak berharap demikian. Karena didasari tanggapan salah itulah maka Toni mengusahakan agar mampu membelikan Mia tas berwarna biru. Terkadang dalam usahanya itu sedikit ada unsur pemaksaan diri.
sumber : (amorologi negatif: hati-hati dengan cinta)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar