RUANG

Sabtu, 31 Oktober 2009

Ada sebuah ruang, kosong, gelap dan sepi. Hanya aku sendiri yang ada di ruang yang luas namun sepi ini.
Namun, dia datang,
dan bertanya,
‘bolehkah ku mengisi sebagian ruang kosong ini?’
Sambil tersenyum ku menjawab
‘iya, ’
Di dalam ruang yang kosong ini ia menaruh berbagai macam hal. Banyak yang ia letakkan, ia pun juga membaginya dengan ruang ku. Agar terlihat lebih nyata untuk sebuah ruang maka ku bangunlah sebuah dinding. Ku bangun sebuah dinding, dari yang rapuh hingga akhirnya dapat berdiri kokoh, utuh.
Ia pun demikian, ia juga membangun sebuah dinding di ruangnya. Walaupun ku pun tak begitu tahu apakah dinding itu telah selesai di bangun dan apakah sekokoh dindingku.

Hari demi hari ruang itu terlihat semakin nyata. Banyak ukiran dan hiasan dengan berbagai macam warna tertoreh. Kadang merah, hijau bahkan hitam pun tertoreh disana.
Dia pun terlihat semakin cerah, walau kadang kelam. Tapi ku yakin adanya dia, ruang ini akan tetap ada dan semakin nyata adanya.
Tak setiap hari ruang kami itu terlihat hidup, kadang juga terlihat hampa.
Tapi dinding yang ku bangun itu tetap ada, tetap utuh, dengan segala curahan ku.
Bahagiaku adanya dia dan ruang ini.

Sampai suatu ketika, dia MENGHANCURKAN dinding itu sampai hampir tak bersisa. Ruangku pun di porak parandakannya. Semua terlihat kacau.
Dengan mudahnya menghilangkan suatu hal hanya karena ternyata dinding yang ia bangun tak kunjung utuh.
‘mengapa kau hancurkan?’
‘karena dinding yang ku bangun tak kunjung utuh, tak seperti dindingmu dan aku merasa lelah untuk membuatnya kokoh’

Menangisku di sudut ruang, SENDIRI. Tak ada yang tahu betapa pedih yang kurasakan. Dinding yang ku bangun dengan segala usahaku, hancur dengan sekejap saja. Tak seorang pun tahu akan hancurnya dindingku dan bagaimana bisa hancur.
Hanya aku,
Aku sendiri yang tahu.
Aku sendiri yang merasakan.

Ku bertanya-tanya,
‘apa yang ku lakukan, hingga ia tak sanggup untuk membangun dindingnya?’
‘apa aku kurang memberikan ruang untuknya?’
‘apa?’
‘apa salahku?’

Sekarang, ruang itu terlihat kembali kosong. Walau ada beberapa hal yang tersisa, dan dinding itupun masih ada meskipun hampir hilang.
Namun, ia kembali datang,

‘aku ingin membangun kembali dinding itu, dengan usahaku. Semampuku’
‘dan akan ku buat dinding itu dengan hiasan, ukiran dan warna yang lebih cerah’
‘berilah ku kesempatan! jika aku gagal, kau boleh lakukan apapun terhadapku’
‘percayalah padaku!’

Walau pedih masih terasa, ku biarkan ia untuk membangun kembali dindingnya itu, ku letakkan kembali hal-hal yang tadinya ada di ruang itu, sambil ku mencoba untuk membangun kembali dindingku. Ku bangun sedikit demi sedikit .. tapi ..
Sedikit demi sedikit pula ia kembali mengikisnya,

Ku biarkan … Ku bertahan sampai tiba saatnya untuk menghilangkan ruangku.
Terus menerus ku coba bangun kembali dinding itu, tapi tak kunjung utuh.
Selalu ada yang terkikis.


Kadang, ku tengok ke ruangnya dan dindingnya.
Apa yang ia tuliskan disana, apa warna yang ia torehkan.
Namun, tak kunjung terlihat olehku.
‘apa?’
‘mengapa?’
Tapi tak pernah ada jawaban.

Andai ia tahu, betapa sulitnya untuk membangun kembali sesuatu yang telah hancur.

Sambil melihat ruangku dan merasakan dindingku,
Ku bertanya dalam hati,
‘kapan dinding ini akan kembali utuh?’

0 komentar:

Posting Komentar